Minggu, 30 Desember 2012

Keluarga Besar Simbolon Perlu Memahami Perbedaan Antarbudaya dan Komunikasi Antarbudaya

Oleh Drs. Anthon Simbolon, M.Si

Alkisah, dalam Condon dan Yousef, 1985:89, Presiden Amerika Serikat John Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez Meteos bertemu di Meksiko tahun 1962. Ketika mengendarai mobil, Kennedy memperhatikan jam tangan Presiden Meksiko. Kennedy pun memuji Lopez: “Betapa indahnya jam tangan Anda” Lopez segera memberikan arlojinya kepada Presiden Amerika Serikat seraya berkata, “Jam tangan ini milik Anda” sekarang. “Kennedy merasa malu karena pemberian itu. Ia berusaha menolaknya, namun Presiden Meksiko menjelaskan bahwa di negerinya ketika seseorang menyukai sesuatu, sesuatu itu harus diberikan kepadanya-kepemilikan adalah masalah perasaan dan kebutuhan manusia. Bukan milik pribadi.” Kennedy terkesan oleh penjelasan itu dan menerima arloji itu dengan rendah hati. Tak lama kemudian, Presiden Lopez berpaling kepada Presiden Amerika dan berkata: “Aduh, betapa cantiknya istri Anda,” yang dijawab oleh Kennedy: “Silakan ambil kembali jam tangan Anda”

Cerita-cerita di atas adalah salah satu contoh komunikasi antarbudaya. Bila komunikasi terjadi antara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial atau bahkan jenis kelamin, komunikasi demikian disebut komunikasi antarbudaya. Disiplin ini sepintas mengisyaratkan bidang yang harus dikuasai para diplomat, mahasiswa asing di suatu Negara, wisatawan mancanegara, pengusaha internasional, manajer sebuah hotel internasional, pekerja sosial atau antropolog terkemuka. Itu tidak salah. Namun sebenarnya setiap komunikasi kita dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya, karena kita selalu berbeda “budaya” dengan orang tersebut, seberapa kecilpun perbedaan itu. Maka komunikasi antarbudaya seyogianya merupakan kepedulian siapa saja yang ingin berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, sebagaimana dikatakan oleh Edward T. Hall (1959) bahwa “Culture is communication” dan “communication is Culture”

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita: bahasa, aturan, dan norma kita masing-masing. Pada tahun 1929, seorang linguis terkemuka, Edward Sapir, mengingatkan para ilmuwan sosial bahwa bahasa-bahasa yang berlainan mempengaruhi cara berpikir.” …. The Real World is to a large extent unconsciously built up on the language habits of the group…We see and hear and otherwise experience very largely as we do because the language habits of our community predispose certain choices of interpretation” (dalam mandelbaum, 1959:162).

Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan risiko yang fatal dan besar sebagaimana dilukiskan Hall dan Whyte: “Suatu peluang bisnis yang tampaknya menguntungkan bagi seorang pria Amerika gagal hanya karena pria itu meletakkan tangannya tanpa sengaja di atas bahu pria Jawa yang akan menjadi mitra bisnisnya di hadapan hadirin di sebuah pesta koktail, perilaku mana dianggap penghinaan menurut etika Jawa.”

Perbedaan ekspektasi dalam komunikasi sekurang-kurangnya menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman seperti dilukiskan contoh-contoh berikut:

Seorang pria Indonesia merasa malu, benci, jijik, dan ingin marah ketika pipinya dicium oleh seorang pria Arab ketika ia baru tiba di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Bagi orang Arab, perilaku itu setulusnya menandakan persahabatan, namun bagi orang Indonesia mengisyaratkan perilaku homoseksual.

Seorang mahasiswa Korea merasa tersinggung katika ia mengunjungi teman Amerikanya. Mahasiswa Amerika itu berkata di jendela: “Maaf, saya tidak punya waktu karena sedang belajar” lalu ia menutup jendela. “saya tidak mengerti. Dala budaya saya, pribumi seharusnya menyambut tamu, suka atau tidak suka, sibuk atau tidak sibuk. Juga pribumi tidak pernah berbicara tanpa membuka pintu” (dalam Barna, 1982:328)

Kami sedang berbicara dengan beberapa mahasiswa Jepang di Tokyo tentang mantan Dubes AS di Jepang yang pengetahuan bahasa dan budaya Jepangnya dipuji banyak orang. Seorang wanita berkomentar, “Ya, ia hebat, namun…. Saya kira istrinya bukan seorang istri yang baik, bila Anda tahu apa yang saya maksudkan. “Kami tadinya mengira itu gossip. Ternyata bukan. Alasan yang dikemukakan wanita itu bahwa ia telah melihat ketombe di bahu dubes ketika ia diwawancarai di TV. Bagi kami penjelasan itu tidak masuk akal. Dengan sabar wanita itu menjelaskan bahwa di Jepang seorang istri bertanggung jawab atas penampilan pribadi suaminya (dalam Condon dan Yousef 1985:1)

Dewasa ini kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti itu masih sering terjadi ketika kita bergaul dengan kelompok-kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkannya lagi (taken-for-granted), dan karenanya kita menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya lain. Bila seseorang tidak menyetujui nilai-nilai kita, sebenarnya itu tidak berarti bahwa orang itu salah, bodoh atau sinting; alih-alih secara cultural orang itu sedikit berbeda dari kita. Bila anda langsung meloncat kepada kesimpulan tentang orang lain berdasarkan informasi terbatas yang anda miliki tentang kelompoknya, maka anda terperangkap dalam etnosentrisme. Komunikasi anda akan lebih berhasil bila anda menggunakan informasi tentang orang itu sebagai individu alih-alih berdasarkan informasi budaya (Hopper dan Whitehead, 1979:177).

Ketika kita berkomunikasi dengan orang-orang lain, kita diharapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Menurut Summer, Etnosentrisme adalah memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya” (dalam Gudykunst dan Kim, 1985:5).

Pandangan-pandangan entosentrik itu antara lain berbentuk streotip, yaitu suatu generalisasi atas sekelompok orang, objek atau peristiwa yang secara luas dianut suatu budaya. Ini tidak berarti bahwa semua stereotip salah. Ada setitik kebenaran dalam stereotip dalam arti bahwa sebagaian stereotip cukup akurat sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak kita kenal. Namun bila kita menerapkannya kepada individu tertentu, kebanyakan stereotip tidak tepat dan banyak yang keliru. Situasi-situasi yang memalukan bisa muncul bila kita tergantung pada stereotip ketimbang persepsi langsung (lihat Tubbs and Moss, 1994:51-52).

Masyarakat manapun, cenderung mempunyai stereotip-stereotip tentang masyarakat lainnya. Di Australia misalnya, orang-orang cina sering diasosiasikan dengan pedagang, komunis, gemar perang atau ancaman bagi seluruh dunia.

Orang-orang Yunani distereotipkan sebagai orang-orang yang suka menipu dalam bisnis atau mencuri milik orang di luar kelompok mereka asal tidak sampai menyengsarakan si korban (Litvin, 1977). Banyak penduduk Australia yang menganggap bahwa orang asing sebagai orang tamak, padahal orang-orang yang disebut belakangan justru merasa mereka lebih rajin bekerja ( bahkan bersedia dipekerjakan sebagai apa saja, dan senang kerja lembur, dengan bayaran yang bisa dinegosiasikan).

Mahasiswa Indonesia di New York menganggap orang bule yang memberikan buku dengan tangan kiri kepadanya sebagai tidak beradab, padahal orang Amerika itu tidak bermaksud demikian, karena dalam budayanya menggunakan tangan kiri bukan kekurangajaran. 

Seorang wanita Australia terkesiap ketika dalam perjalanan kereta api dari bandung ke Yogyakarta ia melihat seorang wanita Indonesia asal desa yang menyusui anakanya di depan umum. Ia menganggap perilaku itu primitive, karena di negerinya sendiri hal itu tidak pernah dilakukan wanita Australia.

Seorang pria Indonesia merasa jengkel sambil menggerutu melihat sapi-sapi berkeliaran di New Dalhi-yang dianggap binatang suci oleh penduduk setempat yang mayoritas beragama Hindu-karena menghalangi mobil yang dikendarainya. 

Seorang turis Australia marah-marah karena ia harus membayar uang setelah memasuki WC yang kotor dan bau pesing di sebuah terminal bus di Jakarta. “Sudan bau pesing harus bayar lagi,” gerutunya, yang dijawab temannya yang orang Indonesia: “Kok kamu marah-marah karena perkara sepele sih.”

Kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya di atas dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan mempraktikkannya dalam berkomunikasi dengan orang-orang lain.

Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi antarbudaya semakin terasa karena semakin banyak orang asing yang datang ke Negara kita. Dalam dua dasawarsa terakhir ini banyak turis datang ke Indonesia. Setiap tahun jutaan turis mancanegara datang ke Negara kita. Jalan Jaksa di kawasan Medan Merdeka, Jakarta telah mendunia karena penginapan-penginapan di sepanjang jalan yang hampir setengah kilometer itu selalu dibanjiri turis-turis asing dari berbagai penjuru dunia.

Untuk bangsa Indonesia, pengajaran komunikasi antarbudaya lebih penting lagi mengingat bangsa kita terdiri dari berbagai suku bangsa dan ras. Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar, pertemuan kita dengan mereka tidak terhindarkan. Di Negara kita terdapat banyak subkultur: ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota), latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Banyak orang Indonesia pergi ke daerah-daerah lain di wilayah Indonesia atau bahkan ke luar negeri untuk belajar, bisnis atau bekerja. Demi kelancaran tugas mereka, penting bagi mereka untuk mengetahui asas-asas komunikasi antarbudaya.

Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering berinteraksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau bahwa dengan sendirinya akan tercipta saling pengertaian, karena antara lain, sebagian di antara kita masih punya prasangka terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka. Penemuan Bruner (1974) tentang stereotip antarsuku di Indonesia agaknya tetap relevan. Masih sering terdengar bahwa orang Jawa beranggapan bahwa mereka halus dan sopan dan bahwa orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat dan tegar. 

Orang Batak menganggap orang-orang Jawa dan Sunda lebih halus dan sopan, tapi lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang Sunda anggap kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang Sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan dan kelemahan.

Bila ada orang kita yang enggan bergaul akrab dengan suku lain, meskipun satu bangsa, kemungkinan besar ia lebih enggan lagi bergaul dengan orang dari bangsa-bangsa lain. Kesamaan bahasa saja belum menjamin bahwa orang yang bersangkutan mampu bergaul secara luwes dengan orang-orang asing yang berbahasa tersebut, meskipun kesamaan bahasa merupakan bekal penting untuk menciptakan hubungan yang memuaskan.

Menarik sinyalemen Dr. Ide anak Agung Gde Agung mantan Dubes Indonesia di Austria, bahwa kelemahan utama para diplomat Indonesia pada umumnya terletak dalam dua hal: Kekurangmampuan berbahasa asing dan kurang pandai bergaul dengan orang asing. “Sebagai dampak negatifnya, mereka lantas lebih senang berkumpul dengan sesama warga Indonesia…” katanya (Kompas, 24 Agustus 1995).

Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi antarbudaya, Litvin (1977), menjelaskan sebagai berikut:
• Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
• Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilai berbeda.
• Nilai-nilai setiap masyarakat se “baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
• Setiap individu dan atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
• Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola budaya mendasar yang berlaku.
• Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
• Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
• Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antarpribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
• Pengalaman-pengalaman antarbudaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
• Ketrampilan-ketrampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multicultural.
• Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbiter tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
• Situasi-situasi komunikasi antarbudaya tidaklah static dan bukan pula stereotip. Karena itu, seorang Komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Ia harus disiapkan untuk menghadapi suatu situasi eksistensial. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.

Mengenai tujuan studi komunikasi antarbudaya, Litvin menguraikan bahwa tujuan tersebut bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
 • Menyadari bias budaya sendiri
• Lebih peka secara budaya
• Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut.
• Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
• Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
• Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasi sendiri.
• Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
• Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
• Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya.
• Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

Alasan pertama untuk mempelajari komunikasi antarbudaya, yaitu bahwa dunia sedang menyusut, semakin terasakan dewasa ini. Proses itu sering disebut globalisasi. Karena proses ini terus berjalan, M. Habib Chirzin (1995) mengusulkan diselenggarakannya pendidikan global di Indonesia. Dunia pendidikan ditantang untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan mampu menghadapi percepatan proses globalisasi yang ditimbulkan liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global.

“Ketika APEC mulai diberlakukan (tahun 2010), Indonesia akan dibanjiri tenaga asing,” demikian Chirzin. Maka, para pendidik diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai yang berorientasikan perdamaian dan mengembangkan kemampuan kerja sama antarbangsa dan antarbudaya.

Untuk menyongsong pasar bebas di kawasan Asia Pasifik (APEC) tahun 2010, Lee Milstein, seorang konsultan manajemen lintas budaya di Jakarta, menyarankan agar pelaku bisnis tidak sekedar mempelajari do’s dan don’ts dalam situasi kerja lintas budaya, tapi juga mengembangkan pemahaman total terhadap budaya professional lokal dan ekspatriat, yang meliputi nilai-nilai, keyakinan, asumsi, serta dorongan-dorongan internal lain yang mempengaruhi perilaku manusia.

Lebih jauh Milstein mengatakan: Untuk bisa memahaminya, langkah pertama yang harus dilakukan seorang professional adalah memahami budayanya sendiri (nilai, keyakinan, asumsi, dan dorongan internal). Berikutnya, barulah mencoba memahami budaya ekspatriat. Bermodal itu, kedua professional lantas mengidentifikasi perbedaan dan persamaan budaya masing-masing, dan akhirnya mengidentifikasi unsure-unsur yang bisa mensukseskan bisnis. Langkah puncaknya, para professional itu secara bersama-sama membentuk strategi lintas budaya yang terpadu guna mencapai tujuan bisnis, (Republika, 29 November 1995).

Usulan Chirzin sejalan dengan komitmen UNESCO yang memang telah lama mempromosikan pendidikan global. Dalam sidangnya di Jenewa pada bulan Oktober 1994 UNESCO menandaskan kembali komitmennya dengan menyarankan antara lain:
• Pendidikan seyogianya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
• Pendidikan seyogianya menumbuhkan perasaan solidaritas dan kesamaan pada tatanan nasional dan internasional, dalam perspektif pembangunan yang seimbang dan lestari.

Sejalan dengan komitmen UNESCO, dalam KTT Sembilan Negara berkembang berpenduduk terpadat di dunia tentang “Pendidikan Untuk Semua”, di New Dalhi India, Desember 1993, telah dilahirkan komitmen bersama terhadap pengembangan SDM dengan menghormati keanekaragaman budaya.

Pengajaran komunikasi antarbudaya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan nonformal di Indonesia dapat kita jadikan salah satu sarana untuk menciptakan SDM Indonesia yang kita cita-citakan. Layak bila kita dapat menyebarkan pengetahuan lewat media cetak untuk memperlancar pendidikan tersebut, antara lain dengan menerbitkan buku-buku.

Suhu Politik Memanas Menjelang Pilgub Sumut

Setiap Parpol belum menetapkan siapa calonnya untuk Gubsu periode 2013-2018, kini mereka sedang sibuk melakukan fit and proper test. Tapi suhu politik di Sumut sudah memanas sebab tiap Balon Gubsu sudah mengklaim diri sebagai orang yang paling pantas , paling cocok dan pas untuk memimpin Sumut. Berbagai pernyataan mendukung dari tokoh masyarakat dan kelompok masyarakat setiap hari bermunculan baik melalui media maupun pernyataan langsung.

Sementara Isu-isu primordial yang berkaitan dengan agama dan suku tidak menjadi pilihan masyarakat Sumut dalam memilih calon gubernur dan calon wakil gubernurnya. Pemilih lebih mendambakan sosok pemimpin yang memiliki integritas, empati, dan kompeten dalam menangani persoalan masyarakat, terutama di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pemilih dalam memilih Cagub-Cawagub menunjukkan masyarakat semakin modern, makin cerdas.

Pilgubsu juga tidak hanya dibicarakan oleh para konstituen pemilih tapi juga ramai dibicarakan oleh masyarakat Sumut yang ada di Jakarta dan daerah lainnya. Ada yang mengatakan hendaknya orang batak yang mencalonkan diri hanya seorang saja untuk bisa menang, sebab kalau lebih dari satu orang, maka suara akan terpecah dari berakibat keuntungan bagi calon yang bukan batak.

Ada pula yang berpendapat agar Calon orang batak mengambil wakilnya dari nonkristen untuk merangkul pemilih yang nonkristen, namun ada juga yang berpendapat agar calon Gubsu orang Batak bersedia menjadi orang nomor dua saja agar tetap ada representasi dari kelompok nasrani.

Karakter masyarakat Medan yang terbuka dan dan menghargai perbedaan turut memanaskan suhu politik Sumut yang terlihat dari cara mengungkapkan setiap perasaan dan pendapat serta aspirasinya dihadapan orang banyak secara terbuka. Lugas dalam menunjukkan identitas dan jati dirinya, apalagi masyarakat Sumut yang suka tampil apa adanya. Dengan keterbukaan dan menghargai perbedaan, masyarakat Sumut menjadi mampu hidup berdampingan dalam keberagaman dan tampil untuk menjadi yang terbaik.

Pasangan Cagub-Cawagub

Saat memilih Cagub-Cawagub, rakyat idealnya sudah mengetahui cagub dan cawagub yang akan diusung. Karena itu, caggub- cawagub sejak awal sebaiknya dihadirkan dalam satu paket. Dengan demikian, peluang rakyat untuk membeli kucing dalam karung dalam pemilu dapat diperkecil.

Siap Kalah dan Siap Menang

Setiap Pilkada selalu ada yang kalah dan ada yang menang. Oleh karena itu diharapkan setiap calon harus mempersiapkan diri untuk menerima kekalahan sehingga tidak ada calon yang kalah justru memanas manasi pendukungnya untuk melampiaskan ketidakpuasan yang dirasakan, berbuat kekerasan sehing berujung pada anarkhi dan kekerasan yang sekaligus mencederai demokrasi yang sudah berjalan baik selama ini. Sebab tekanan amarah yang tidak menemukan celah untuk keluar akhirnya meledak menjadi amuk massa.

Strategi Kampanye

Strategi kampanye juga memegang peranan penting dalam menentukan kemenangan setiap calon dalam Pilkada. Pertama, materi kampanye haruslah menawarkan bukti, bukan janji. Kedua, kampanye diusahakan untuk tidak melakukan pengumpulan massa besar-besaran di suatu wilayah selama kampanye. Kampanye dialogis lebih diutamakan. 

Ketiga, menyiapkan kader sebanyak mungkin untuk menjadi saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Keempat, dalam kampanye harus diusahakan agar rakyat memiliki pengenalan yang sama terhadap Cagub dan Cawagubnya. Kelima, strategi berikutnya adalah mendesain tiada hari tanpa berita Cagub dan cawagubnya dan semuanya harus disiapkan secara terencana, terukur, terkendali, tidak asal-asalan, tidak overlap, tidak saling serang, dan tetap menjaga etika.

Dalam kampanye, Cagub-Cawagub harus mengangkat gagasan pembangunan ekonomi dengan program-program yang akan dilakukan. Sumbernya adalah rakyat yang akan dibangun kemandirian, kesejahteraan, dan kemakmurannya.

Sudah saatnya juga parpol maupun masyarakat berani memilih dan mencalonkan Gubsu yang memiliki moral dan tujuan kepada rakyat. Namun, terkadang masyarakat masih sulit meninggalkan kultur lama di mana demokrasi masih sebagai jargon. Pengalaman masyarakat Sumut dalam memilih Gubernurnya pada masa silam hendaknya dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang kembali pada Pilkada bulan Maret 2013. Hati boleh panas tapi hati dan kepala harus tetap dingin untuk memilih pemimpin yang terbaik buat rakyat dan bangsa.

The Future Journalist

Today's Journalist reports the news; tomorrow's will explain it. Newspapers can't be first with news as television and radio are, and they must offer their readers something diffrent. Happenings must be explained so that results are understandable to the reader. The story of what caused the news must be told.

Many newspapers are already preparing to meet this need. Today's front page explain news as much as they report it. During the week-ends newspapers are filled with stories of such thinks as politics and world problems. Reporting the news is not enough in today's fast-moving world. it is not enough for a newspaper reader to know what happened. He must also know why it happened and what it will do to his country, his city and himself. This is also true of TV and radio, which are suplying special "behind the scenes stories"

For many years newspapers and wire services were only expected to report facts. The reader must do his own explaining. But most readers did not know enough what was happening behind the news to be able to explain or understand it. That i s why news magazines such as Vision, in latin America, and others around the world were started. they did the job which most newspapers were not then doing - going behind the news to explain why it happened.

Explaining the news is not giving an opinion. A newspaper's opinions or ideas should be given only on the editorial page. Explaining the news is telling as much as possible about a happening to let the reader know what caused it. Readers should know about the downfall of a goverment in latin america, but should also understand what caused that downfall. Saying only that a government of a South American country fell is enough. It would be better to make readers understand the real problems which are the seeds of trouble.

A special kind of man or woman will be needed to explain the news. He must be the kind or person who never believes that his education is completed. he must be have a mind that is always seeking answers to questions. He must look at all sides of a problem and never print anything he does not understand. This kind of person should be a good writer who can tell a story clearly. He should also realize that he has a duty to his readers.

James Reston, chief of the Washington office of the New York Times, says that the reporter's first duty is not to the owner of his newspaper, or to his editor, or to his government or to those who gave him news. His first duty is to the people, and if hi gives it to any of the others, he is not a really good writer.

Tomorrow's journalist must be a man of ideas. He must be able to know and find what will make news stories, and not only wait for them to happen. Because they can do so quickly, radio and TV are usually the first to report the news. Perhaps you have already heard tomorrow morning's headline on this evening's radio news. daily newspapers must, therefore, report something further which is not covered by TV and radio.

Perhaps they can explain problems, such as showing the need for better health care for sick minds. It will be the reporter's job to find new ideas for old problems,

It is not necessary for ideas for stories to be only about the bad things people do. A San Francisco newsman had the idea of joining a group of strangers who were visiting the city and reporting what they thought of the town. he New York Daily News printed some stories about what young people were thingking. Ideas should come from all the things which are around us every day. Several newspapers pay money for ideas that lead to stories no reporter has thought of writing before.

Newspapers will be looking for men who, day after day, will not lose interest in seeking facts, men who will want to work to help the public.

When he was a reporter for a California newspaper, Pierre Salinger (who later became President Kennedy's officer) wanted to tell the readers about the bad conditions in California prisons. To do this, he acted against one of the less important laws so they would put him in prison. He was there for several days. After he left, he prepared stories for his newspaper about the things in the prison that should be changed.

Woody Klein, another young reporter for a New York newspaper, want to live in one of the poor parts of the city so he could write stories about the conditions there. He later put his experiences in a book.

Mr. Klein explains that the purpose of such assignments is to find and report news which has not been made known before, and which sometimes is even being kept away from people. The purpose of this kind of journalism is to bring changes and to make better what is wrong. when a newsman makes wrongdoings known, he feels more pleasure than he would if he had received more pay.

If he loves human beings, he knows that he is fighting for people who can't fight for themselves-people who do not have the time or the know-how to be sure that their government leaders are doing what they should. Your country is a better place because of what reporters and newsmen have found and told people was wrong.

The writer who can explain the news, teh man with ideas, the reporter who knows how to look for facts-these are persons who will be most wanted in newspapers. In a quickly changing world, old methods will not be enough. Some newspapers are sendng their reporters to college again for advanced studies which will help in their journalism work. Journalism is also changing.

Bad writers and those who only play at journalism will not be successful. Unless you can offer a newspaper something more than eight hours a day of your time, you will find that you have no place in juornalism.

There is nothing as important to a democracy as a free press. Only people who know all the facts are able to make good judgements. The press in the market place for ideas, and with a free press, people can choose, because they can read and hear all sides of a story.

Newspapers also serve people by printing who was born, who was married and who died. This news interests readers very much. No doubt, your family and friends of the family were pleased to read in the newspaper that you were born. and they will also be pleased when they read you have been married or perhaps received honors in college.

The newspaper tell us what is happening in our city goverment, who the police put in prison last night and the plans for a new health center in town. We discover what is happening in the schools and churches, and even the theater, the movies and television. If we like ball games we can read about them. we know what people want to buy and sell by reading special parts of the paper: buyer and seller meet through the newspaper.

Almost everything that touches the reader's life is in a newspaper. People talk about the news and think about it. There are many pesons who do not like to start the day without first reading the newspaper. Even the weather report is necessary to help many people in their businesses. The newspaper belongs in the every day life of millions of persons.

As a journalist, you will have a good view of history being made, and an honored place among people.

President Lyndon B. Johnson told a group of young American journalists that when a press is free, democracy will be free. He said that no profession is more important than journalism, and no work more valuable than which guards the truth.

If the thought of being a reporter is exciting to you, if you put service above money, if you know how to find facts and write them well, if you want perfection instead of something which is only acceptable-then you should become a journalist. There is an important future for you.

Memilih Calon Gubsu yang Ideal

Pesta Demokrasi dalam rangka pemilihan Gubernur Sumut alias BK-1 sudah semakin dekat, namun Calon Gubsu dari Balon yang ada belum ditetapkan, tapi para kandidat sudah berusaha untuk melakukan komunikasi politik dalam rangka Face Recognition dan Name Recognition untuk merebut popularitas.

Partai Politik sudah mengatur strategi dalam rangka mengajukan calon yang bisa diterima oleh rakyat dengan mengacu pada pemilihan Gubernur DKI yang berlangsung baru baru ini dan dimenangkan oleh Jokowi-Ahok.

Masyarakat Sumatera Utara dikenal sebagai masyarakat yang cerdas dalam menentukan pilihan terhadap pemimpinnya dan tidak jauh dari cara rakyat DKI yang memilih pemimpinnya yang merakyat dan peduli terhadap rakyat kecil. Mereka sekarang sedang menentukan sikap apakah memilih Gubernur dari seorang dengan latar belakang militer atau seorang sipil, apakah mereka akan memilih seorang calon menurut program yang ditawarkan atau calon yang bersih alias tidak terlibat kasus korupsi dan penggelapan uang negara.

Rakyat Sumatera Utara juga mengalami trauma buruk ketika mereka memilih Gubsu Syamsul Arifin yang akhirnya kandas di tengah jalan akibat terlibat kasus korupsi ketika menjabat Bupati dan tidak mau terulang pada pemilihan Gubsu berikutnya.

Rakyat Sumatera Utara saat ini sedang asyik mendiskusikan beberapa bakal calon Gubsu yang sudah mendaftar pada KPU. Diskusi itu berlangsung di mana saja, di lapo tuak, di cafe, di kedai kopi, di pasar, di pesta, di rumah makan, dan pertemuan pertemuan formal dan informal. Tidak ketinggalan orang Sumut yang merantau di Jakarta.

Diskusi diawali dengan mengajukan pertanyaan, apa yang telah dilakukan oleh pejabat Gubernur sebelumnya dan yang sedang menjabat sekarang. Analisis SWOT pun muncul, apa kelebihan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Gubernur tersebut. Terpantau jelas bahwa rakyat Sumatera Utara tidak banyak membicarakan dan mendiskusikan partai politik yang merupakan asal usul dari calon Gubsu tapi mereka lebih cenderung mendiskusikan kapabilitas, acceptabilitas, dan akuntabilitas figur calon yang bersangkutan.

Diharapkan dengan mendiskusikan topik tersebut di atas, calon Gubsu yang ideal akan mendekati kenyataan. Politik uang dan provokasi tidak akan banyak lagi mempengaruhi kemenangan seorang calon sebagaimana terjadi pada pemilihan Gubernur DKI bulan September 2012 lalu. Oleh sebab itu, Partai Politik perlu mengkaji ulang dan cermat dalam mengajukan calon Gubsu yang akan datang. Sebab untuk memenangkan calon Gubsu bukan lagi karena dukungan banyak partai, tapi yang dibutuhkan adalah calon yang memiliki visi dan misi melalui kerja keras membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Sumut.

Apakah syarat ini sudah dimiliki oleh para calon yang akan bertarung pada awal 2013, wallahu'alam, mari kita buktikan.!!! (anthonsimbolon@rocketmail.com)

Media Massa Dalam Era Globalisasi

Pada hakekatnya, kehadiran sebuah media, baik media cetak maupun elektronik adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi secara lengkap, obyektif, dan imparsial. Oleh karena itu, kehadiran sebuah media massa harus mampu menjawab pertanyaan apakah fungsi informasi, (to inform), fungsi mendidik (to educate), fungsi mempengaruhi (to influence), fungsi menghibur (to entertain), dan fungsi pengawasan sosial (control social) dapat dilaksanakan secara seimbang dan berkelanjutan.

Dengan demikian, Pers di Indonesia diharapkan ikut menjadi bagian dari tujuan bangsa ini untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dengan memberitakan program pemerintah yang baik, obyektif, serta adil dan jujur (fair). Serta mampu bersaing dalam era globalisasi media yang kini tengah berlangsung.
Perubahan pola perilaku masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi dan media baru seperti internet, siaran televisi berbasis internet protokol (IPTV), dan banyak lagi produk turunan perkembangan TI yang semakin pesat dipastikan harus dapat segera diantisipasi dan diikuti media massa konvensional seperti media cetak, radio, dan TV.

Persaingan yang dihadapi surat kabar sekarang juga semakin ketat, menyusul bermunculannya pesaing dalam bentuk media lain.

Sejak siaran televisi menjamur pasca-era reformasi, pembaca koran memiliki pilihan lain. Bahkan, televisi lebih menarik karena disertai suara, gambar bergerak, dan keunggulan menyampaikan peristiwa/berita kepada pemirsa lebih cepat.

Perubahan harus dilakukan walaupun sulit memprediksi apakah media surat kabar sudah akan hilang atau tidak diminati lagi dalam 20 tahun ke depan atau tetap bertahan. Mungkin di masa depan surat kabar tidak lagi dalam bentuk yang sekarang, melainkan sudah berubah menjadi format surat kabar elektronik yang jauh lebih maju.

Menurut Kepala Mobile TV and Video Experiences Nokia Asia Pasifik Pawan Gandhi, kehadiran media baru di tengah masyarakat dipastikan menimbulkan perombakan besar-besaran pada kebiasaan orang. Misalnya, yang sebelumnya membaca koran atau menonton televisi dalam satu ruang keluarga bersama-sama, menjadi lebih individual.

Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah mengubah perilaku masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Karena itu, saat ini media cetak dihadapkan pada suatu tantangan yang sangat berat, yang belum pernah dihadapi sebelumnya.

Perkembangan media elektronik sangat luar biasa. Hadirnya unsur kecepatan dan teknologi membuat media elektronik lebih disukai, terutama oleh generasi muda. Untuk menjawab tantangan tersebut, tidak ada pilihan bagi pengelola media cetak, kecuali meningkatkan kemampuan profesional. Itu tidak cukup hanya dilakukan oleh wartawan, tetapi juga oleh pihak penerbit yang menaungi para wartawannya.

Lisensi Pers Asing Versi Indonesia

Disamping pertumbuhan pers Indonesia yang begitu pesat, terdapat pula penambahan pers dari hasil lisensi pers asing versi Indonesia. Beberapa lisensi pers asing versi Indonesia misalnya lisensi Rolling Stone versi Indonesia yang menjadi majalah Rolling Stone pertama yang terbit di Asia. Grup Kompas Gramedia, misalnya telah membeli lisensi majalah National Geographic.

Majalah lisensi asing pertama di Indonesia adalah majalah anak-anak Bobo, yang terbit pada 1973 dan mencapai tiras 250 ribu eksemplar. Tapi majalah model begini kian ramai sejak Grup Mugi Rekso Abadi (MRA) memelopori penerbitan majalah Cosmopolitan versi Indonesia pada Agustus 1997. Kini majalah lisensi mencapai bilangan 30, dengan tiras 30 ribu hingga 140 ribu eksemplar tiap edisi.

Bahkan secara khusus Shahidul Alam, fotografer dan pendiri Dirk Picture Library, Bangladesh, memberikan makalah dengan judul "Publishing from the Street: Citizen Journalism". Pada kesimpulannya dia menekankan kepada jurnalis profesional agar tidak serta-merta tergoda bisikan dari cyberspace.

Sementara itu, Christian Caujole, Art Director Agence and Gallerie Vu, yang dalam rangka ulang tahun World Press Photo ke-50 ini menerbitkan buku Things As They Are, juga memberikan tanggapan soal pers rakyat. Dia menganggap Internet hanya sebagai alat penyebaran informasi, banyak aspek yang membuatnya tidak dapat mengungguli media mainstream.

Perubahan Format

Lembar koran versi klasik dengan ukuran lebar (broad sheet) jelas merepotkan pembaca. Ruang dalam kendaraan yang tak seberapa tentu membutuhkan ukuran yang lebih praktis. Pembaca pun membutuhkan format koran yang lebih kompak. Jika diperhatikan, sejumlah surat kabar nasional telah mengubah formatnya menjadi lebih kecil. Misalnya Koran Tempo dan beberapa tabloid lainnya.

Alternatif yang dipilih, biasanya dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Beberapa surat kabar daerah pun tidak ketinggalan mengambil langkah serupa. Tren perkembangan ini dipelopori oleh negara-negara Barat, begitu pula dengan format surat kabar. Amerika Serikat sudah lebih dulu melakukan perubahan itu sejak pertengahan dasawarsa 1980-an.

Media massa seperti The Times atau New York Times misalnya, dalam masa itu mengalami penurunan tiras. Tak pelak, hal ini merisaukan para petinggi perusahaan media massa tersebut. Salah satu strateginya adalah mengubah format dengan ukuran yang praktis. Terbukti strategi itu dapat mendongkrak kembali jumlah tiras.

Di sisi lain, perubahan format mengharuskan penulisan berita menjadi lebih singkat dan padat. Hal itu justru membantu pembaca karena berita tidak menjadi bertele-tele. Tetapi sebaliknya menimbulkan pendangkalan berita karena isinya hampir sama dengan media elektronik, Surat kabar tidak boleh kehilangan esensi tugasnya untuk dapat mencerdaskan masyarakat, memperluas wawasan, dan memberikan pencerahan.

Perubahan format yang dilakukan surat kabar biasanya disertai dengan pencantuman deskripsi sekilas berita-berita di halaman depan. Penjelasan berita yang dimuat di halaman dalam koran itu menjadi semacam tuntunan untuk memudahkan pembaca. Itu menarik. Jadi, koran sekarang berupaya lebih ramah kepada pembaca. Itu juga daya tarik untuk mengimbangi berita televisi yang lebih cepat. Panduan berita itu sekaligus memberi tahu bahwa informasi koran lebih kaya dibandingkan media elektronik.

Faktor paling penting dari surat kabar adalah isinya. Sesuai dengan keunggulan yang dapat memuat informasi lebih banyak dan detail, surat kabar seharusnya bisa menampilkan karakteristik itu.

Pelanggan daerah

Selain format surat kabar yang berubah, langkah lain yang dilakukan adalah menyisipkan lembaran daerah. Sebab, koran nasional selama ini sudah dianggap terlalu Jakartasentris. Padahal, potensi pembaca lokal di daerah sebenarnya cukup tinggi.

Menurut teori kedekatan (proximity), pembaca akan lebih memilih berita yang terjadi di daerahnya ketimbang di tempat lain. Berita pembunuhan di Siantar, misalnya, cenderung lebih dulu dibaca penduduk Siantar dibanding peristiwa serupa di Jakarta. Tidak heran jika faktor itu pula yang menimbulkan fanatisme di kalangan pembaca lokal.

Selain itu, wartawan lokal yang lebih menguasai isu, bahasa, dan kebudayaan daerahnya juga menjadikan sebuah berita memiliki cita rasa berbeda dengan wartawan nasional.

Jumlah iklan yang dipasang pun memengaruhi minat membaca koran. Semakin banyak iklan lokal, semakin banyak pula pelanggan daerah yang ingin membaca.

Fenomena ini tak lepas dari masalah tradisi. Jika suatu keluarga berlangganan koran lokal, ada kecenderungan generasi selanjutnya melakukan hal yang sama, meski hal itu tak selalu terjadi.

Mengingat itu, koran lokal sulit dikalahkan oleh koran nasional. Demikian pula untuk sebaliknya, koran lokal tentu tak dapat bersaing untuk skala nasional.

Jurnalisme Damai

Jurnalisme damai adalah jurnalisme yang mampu mengembangkan wawasan dan karya jurnalisme bernuansa sejuk, yaitu "kultur jurnalisme yang khas", wawasan jurnalistik yang berlandaskan filsafat politik tertentu. Kultur jurnalisme damai ini sekarang telah menjadi referensi bagi kehidupan jurnalisme di Indonesia.

Jakob Oetama juga salah satu raksasa jurnalis di negeri ini yang menawarkan jurnalisme damai telah berhasil membuka horizon pers yang benar-benar modern, bertanggung jawab, nonpartisan, dan memiliki perspektif jauh ke depan dan dipandang telah berhasil menggunakan pers sebagai wahana mengamalkan pilar-pilar humanisme transedental melalui kebijakan pemberitaan yang memberikan perhatian sentral pada masalah, aspirasi, hasrat, keagungan dan kehinaan manusia dan kemanusiaan.

Jakob Oetama mengemukakan bahwa pencarian makna berita serta penyajian makna berita semakin merupakan pekerjaan rumah dan tantangan media massa saat ini dan di masa depan. Jurnalisme dengan pemaknaan itulah yang diperlukan bangsa sebagai penunjuk jalan bagi penyelesaian persoalan-persoalan genting bangsa ini.

Kebebasan pers

Konstitusi tegas menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Dan Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 dengan jelas menetapkan pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, atau larangan penyiaran.

Kebebbasandan independensi ruang redaksi harus dijaga, baik dari campur tangan orang luar maupun intervensi pemilik modal. Media massa diharapkan tetap menjaga independensi itu dari kelompok-kelompok masyarakat yang ingin mendikte, baik dengan aksi-aksi massa maupun tindakan-tindakan lainnya yang bernada ancaman.

Kebebasan pers, kata Heru, tidak mungkin terwujud bila wartawan bekerja dalam situasi korupsi, kemiskinan, atau ketakutan. Namun demikian, para wartawan perlu diingatkan untuk tetap bekerja secara profesional dan menaati etika jurnalistik.

Minggu, 31 Juli 2011

Simbolon di Tengah Pelestarian Budaya

Oleh : Drs. Anthon Simbolon, Msi

Tortor atau tarian, bagian dari kebudayaan dan kebudayaaan adalah jati diri suatu bangsa. Suatu bangsa diperbedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Tatkala simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia dipakai sebagai salah satu elemen iklan pariwisata Malaysia, reaksi keras masyarakat Indonesia bermunculan yang didasari oleh rasa cinta sekaligus kekhawatiran masyarakat akan hilangnya kebudayaan tradisional mereka.

Litbang Harian Kompas pernah melakukan jajak pendapat terhadap 866 responden, menghasilkan mayoritas responden (97,6 persen) menyatakan amat bangga dengan kebudayaan lokal yang mereka miliki. Bahkan, rasa bangga yang mereka ekspresikan ini sejalan pula dengan opini mereka (99,3 persen) menyatakan perlunya melestarikan produk budaya Indonesia. Artinya, dari sisi penyikapan masyarakat, tidak ada yang patut dikhawatirkan dengan ancaman akan tergerusnya produk budaya negeri ini akibat pola penyikapan warganya.

Sikap keras dan rasa bangga yang mereka ekspresikan itu tidak serta-merta menunjukkan interaksi masyarakat yang intens dengan produk-produk budaya lokal mereka sendiri. Dengan kata lain, di tataran praksis, masyarakat sendiri sebenarnya tidak banyak mengenali dan mempraktikkan kebudayaan lokal mereka sendiri.

Dari 866 responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen), musik dan lagu (68,8 persen), pakaian (67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.

Pengetahuan minim tentang kebudayaan lokal, dibarengi dengan pengakuan mereka secara umum dalam mempraktikkan kebudayaan lokal mereka. Misalnya, perilaku memakai pakaian tradisional dinyatakan oleh 67,9 persen responden. Pengalaman menceritakan dongeng dari daerah di Indonesia diakui oleh 65,4 persen responden jarang dilakukan masyarakat. Sejauh ini, hanya dua produk budaya tradisional yang terdaftar di badan PBB, UNESCO, wayang kulit (2003) dan keris (2005).

Kesenian Reog Ponorogo yang sempat ramai dibicarakan masyarakat berkaitan klaim Malaysia pada tahun 2007 hanya sebatas didaftarkan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2004. Masyarakat begitu tersentak oleh berita bahwa batik dan kreasi ataupun salah satu formula teknologi pembuatannya terpatenkan oleh negeri jiran.

Tidak mengherankan jika kenyataan ini membuat hampir semua responden (95 persen) berpendapat, pemerintah perlu segera secara serius melindungi eksistensi produk budaya lokal ini dengan mematenkan produk-produk budaya lokal di lembaga internasional.

Agenda tetap dan berkelanjutan


Alangkah indahnya jika setiap daerah memiliki agenda tetap dan berkelanjutan untuk keriaan besar kebudayaan itu dalam media massa. Durasinya, masing-masing bisa selama seminggu atau sebulan. Selain bisa terus-menerus berdenyut memberi penyadaran kepada masyarakat akan kuantitas dan kualitas kekayaan budayanya, juga bisa dijadikan sebagai komoditas wisata domestik dan mancanegara.

Kegiatan itu tidak hanya menjadi acara yang menghabiskan anggaran, melainkan menjadi adrenalin bagi kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan bisa dinikmati oleh banyak sektor usaha masyarakat. Dengan demikian, seluruh untaian mutiara di Khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke, akan tampak berkelap-kelip memancarkan gairah pesona masing-masing sepanjang masa.

Di Ibu Kota, hal serupa wajib diselenggarakan. Area Taman Mini Indonesia Indah bisa diubah menjadi Taman Besar Indonesia Indah. Setiap daerah/anjungan bisa secara bergilir mengadakan perhelatan selama sebulan -misalnya Festival Budaya Batak dan lain-lain- dengan memanfaatkan seluruh kawasan.

Jika dipromosikan secara luas, didukung segenap lapisan masyarakat, termasuk para sponsor dan pebisnis, acara semacam itu niscaya memiliki gaung ke segala arah, menumbuhkan kebanggaan dan memperkuat jati diri suku bangsa.

Tak cukup hanya dengan cogito ergo sum. Hanya dengan bekerja, maka kita ada. Untuk itu, mungkin perlu dibentuk lembaga swadaya masyarakat semacam "Lembaga Pewaris Budaya Bangsa" atau "Lembaga Pewaris Budaya Batak" (Khusus untuk orang Batak), yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang peduli dan mau bekerja untuk memajukan kebudayaan.

Politik Kebudayaan Kita


Munculnya aneka protes sebagai bentuk ketersinggungan atas klaim produk-produk kebudayaan kita oleh Malaysia seharusnya segera memicu perlunya dipikirkan kembali hal-hal mendasar atas politik kebudayaan kita. Hendak diarahkan ke mana kebudayaan bangsa ini?

Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Menjadi khas saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas itulah yang otentik.

Meski pernah didefinisikan, kebudayaan nasional puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produk-produk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.

Reorientasi pola pikir


Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka dan lainnya, mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang plural ini.

Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soal-soal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.

Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) tertanam di benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan falsafah Pancasila tidak sulit.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, sekarang ini saatnya membangun karakter bangsa melalui nilai-nilai budaya. Karya-karya budaya bangsa itu harus diusahakan agar masuk dalam akar kehidupan kita.

Setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan wayang, keris, dan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia, menjadi tugas kita agar nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya bisa menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Tugas kita sekarang tidak hanya melestarikannya, tetapi bagaimana mengusahakan agar nilai-nilai budaya itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tugas kita bagaimana agar karya-karya budaya bangsa itu masuk ke akar kehidupan masyarakat. Itu tidak mudah, tetapi tugas itu niscaya amat penting dan mulia.

Pengakuan MURI (Museum Rekor Indonesia) terhadap tortor Batak yang diselenggarakan Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) yang diikuti oleh sekitar 7.000 (tujuh ribu) orang penari di Istora Senayan 25 Juli 2010 lalu menunjukkan kecintaan Masyarakat Batak terhadap budayanya tanpa harus mendaftarkan diri ke UNESCO. Dilanjutkan lagi dengan Manortor Tandok Boras di Lapangan Benteng Medan oleh lebih seribu orang wanita Batak pada tanggal 10 Juli 2011 lalu. Tortor atau tari ini digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang tahun Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) dan memperoleh penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia).

Tari kolosal ini tidak sekedar show of force, tetapi merupakan misi PSBI dalam rangka melestarikan nilai-nilai luhur budaya Bangsa di kalangan orang Batak sekaligus menunjukkan masih tingginya kecintaan masyarakat Batak akan budayanya. Effendi MS Simbolon mengatakan, kecintaan dan rasa memiliki terhadap budaya lokal harus diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bukan hanya mengaku tanpa aksi nyata.

Menurut hemat saya, pemerintah perlu memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pelaku-pelaku pelestarian budaya seperti Effendi MS Simbolon sebagai tokoh muda yang peduli dengan pelestarian budaya lokal.

Dengan upaya pelestarian budaya yang dilakukan Marga Simbolon, diharapkan ada marga lain seperti marga Siahaan, Panjaitan, Simanjuntak mau mengikutinya. Kekayaan budaya kita menjadi asset bisa dijual untuk memajukan kepariwisataan dan menghasilkan secara ekonomis sekaligus sebagai alat peningkatan kesejahteraan bersama. Masyarakat Batak tercatat sangat antusias dengan budayanya, tapi bagaimana para tokoh budaya Batak menanamkan nilai-nilai luhur itu bersemayam di lubuh hati setiap orang Batak.

Kepedulian Pemerintah


Mencermati sejumlah kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2009, seperti kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur dan kasus munculnya tari pendet dari Bali dalam iklan pariwisata Malaysia yang menimbulkan berbagai reaksi di Tanah Air, seperti menegaskan betapa keperdulian pemerintah terhadap budaya masih minim.

Terlepas dari persoalan mematenkan budaya lokal, keperdulian pemerintah baru sebatas mengejar sertifikat sebagai warisan budaya dunia, seperti untuk wayang, keris dan batik. Menjadi pertanyaan, setelah sertifikat itu didapatkan, mau dibawa ke mana kekayaan khazanah budaya bangsa ini? Bagaimana dengan budaya/seni tradisi di banyak daerah yang kini keberadaannya mencemaskan dan terancam punah? Terlalu panjang diurai mengapa kondisi seperti itu terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap kesenian tradisi/budaya lokal masih setengah hati. Terbukti dengan relatif kecilnya anggaran untuk pembinaan seni tradisi tersebut.

Belajar dari asing


Selama ini, pihak asing begitu perduli dengan khazanah budaya Indonesia. Jangan heran, di beberapa kesenian tradisi, orang kita belajar pada pihak asing.

Salah satu hasil kebudayaan kita sudah lama menjadi perhatian orang asing adalah naskah. Naskah-naskah dari Kepulauan Nusantara kini tersimpan di beberapa perpustakaan di sejumlah negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Jerman, Denmark, Australia dan Rusia. Naskah-naskah Nusantara itu dijaga dengan baik di luar negeri. Mereka sadar sekali, the knowledge is power.

Sekarang terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu lagi, naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Minat bangsa asing terhadap naskah-naskah Indonesia tetap tinggi. Di Indonesia sendiri terjadi hal sebaliknya, jangankan menambah koleksi naskah (atau mereproduksinya dari masyarakat), naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan saja sering hilang.

Penulis: Sekjen Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) tinggal di Cikeas-Bogor
Artikel ini juga dimuat di www.analisadaily.com

Jumat, 15 Juni 2007

Pesta Bolon Dan Perspektif Pembangunan Samosir

Oleh Drs. Anthon Simbolon, M.Si

Samosir is a gem set in a place of beauty. I hope more People will visit Samosir and learn more about the intresting culture of the Batak people. Joyce Antila Phipps.

Kabupaten Samosir kini masih berusia tiga tahun dan merupakan salah satu dari delapan kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Sejak tiga tahun lalu belum banyak kemajuan yang dicapai, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Terbukti kini Kabupaten Samosir masih termasuk Kabupatern termiskin dengan PAD pertahun kurang lebih 250 milyar. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, pemerintah Kabupaten Samosir melirik potensi wisata yang terpendam seperti keindahan dan keunikan pulau Samosir dan situs Danau Toba yang unik dan rupawan.

Saking rupawannya, seorang wartawan mancanegara menulis ”Samosir is a gem set in a place of beauty. I hope more People will visit Samosir and learn more about the intresting culture of Batak people.”

Dan tidak tangung-tanggung. Pemda Samosir mencanangkan visi Samosir menjadi kabupaten pariwisata pada tahun 2010. Apa artinya visi ini. Bahwa sektor kepariwisataan akan menjadi andalan pemasukan devisa dan berkontribusi secara signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Samosir. Pemda Sumut juga tak ketinggalan untuk menjadikan kemolekan Pulau Samosir dan keindahan Danau Toba menjadi andalan pariwisata Sumatera Utara, walaupun kontribusinya untuk memajukan kepariwisataan Samosir sangat minim-terlihat dari ketidakpedulian terhadap meningkatnya usaha kerambah ikan apung yang nyata-nyata bisa mencemari danau Toba. Belum lagi dampak negatif atas kehadiran Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengakibatkan terganggunya siklus hidrologi dan musnahnya berbagai spesies tanaman, burung, serangga, termasuk terjadinya erosi dan mengeringnaya aliran 145 sungai kecil yang bermuara ke Danau Toba.

Pemerintah daerah Samosir kini giat memacu pembangunan mengejar ketertinggalannya. Dengan visi 2010 ”Kabupaten Samosir akan menjadi Kabupaten pariwisata”, ingin membangun kepariwisataan yang sejajar dengan Bali, sehingga sektor kepariwisataan kelak akan mampu mendukung PADnya secara mandiri.

Kabupaten Samosir terdiri atas sembilan kecamatan (Pangururan, Harian, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Nainggolan, Sitio-tio, Simanindo, dan Sianjur Mulamula) dengan jumlah penduduk sekitar 133 ribu jiwa, yang dihuni oleh lima etnik Batak (puak) yaitu angkola, mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba, merupakan pemekaran dari Kabupaten Tobasa (Toba Samosir). Wilayah Pulau Samosir memanjang sekitar 87 km dari Utara ke Selatan dengan lebar 27 km dari Timur ke Barat. Dikelilingi oleh Danau Toba seluas 1.100 km2 dengan kedalaman 450 meter dan berada pada puncak vulkanik tua pada ketinggian 905 meter di atas permukaan laut. Topografi dan kontur tanah di Kabupaten Samosir pada umumnya berbukit dan bergelombang.

Secara administratif, Wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh tujuh kabupaten, yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan kabupaten Simalungun; di sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Toba Samosir; di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.

Dengan visi menjadi Kabupaten Pariwisata, Pemda Samosir ingin merubah arah kehidupan masyarakat Samosir dari sektor pertanian ke sektor pariwisata. Sektor pertanian selama ini merupakan andalan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah melalui kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Samosir, yaitu 55,47 persen.(2003). Faktor pendukung keberhasilan sektor pertanian adalah curah hujan dan sekurangnya sepulu sungai yang bermuara ke Danau Toba yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mengairi lahan sawah.

Di samping sektor pertanian, ada juga usaha perikanan yang cukup potensial di Kabupaten Samosir dan umumnya dikelola dan diusahakan masyarakat sebagai usaha rumah tangga, baik di kolam, sawah, kolam air deras, jaring apung dan usaha tempat pembenihan. Jenis budi daya yang memiliki lahan terluas adalah jaring apung dengan luas 2.808 ha. dengan hasil produksi sebanyak 615,06 ton, dari sawah sebanyak 9,10 ton, dari kolam sebanyak 4,88 ton.

Kondisi Kepariwisataan Kabupaten Samosir

Kabupaten Samosir pada dasarnya memiliki potensi pariwisata seperti panorama yang indah, objek-objek wisata seperti tempat-tempat bersejarah, rumah ibadah inkulturtif, cagar budaya, dan keunikan Danau Toba yang sempat disebut sebagai salah satu situs keajaiban dunia (world heritage), serta kekayaan seni budaya tradisionil, semuanya merupakan pesona wisata yang dapat dijadikan objek pariwisata yang apabila dikelola dengan baik akan mampu menciptakan lapangan kerja yang tinggi, mendorong kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa bagi kabupaten. 

Sarana akomodasi seperti hotel dan penginapan saat ini di Samosir tidak merata. Sebanyak 86 buah dengan 1.365 kamar dan 2.803 tempat tidur, terbanyak terdapat di Kecamatan Simanindo terdapat 77 hotel dengan 1.241 kamar dan 2.553 tempat tidur di Kecamatan Simanindo. Hal ini terjadi karena Kecamatan Simanindo merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang menarik di Kabupaten Samosir, tapi kurang menguntungkan bagi pengembangan kepariwisataan Samosir.

Potensi wisata tersebut di atas belum dikelola secara optimal oleh Pemda Samosir. Pada suatu seminar ”Jaring Pendapat” yang diadakan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Samosir (Lemdayasa) beberapa bulan lalu di Hotel Sahid Jakarta ada yang mengemukakan bahwa Lembaga Kepariwisataan Internasional tidak merekomendasi wisatawan untuk bermalam (stay the night) di Samosir karena buruknya kondisi dan pelayanan wisatawan seperti kebersihan WC dan lingkungan penginapan. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan perlu perbaikan secara holistik ke depan. 

Pesta Bolon

Pesta Bolon yang akan diselenggarakan di Samosir pada tanggal 1-7 Juli 2007 bukanlah pestanya marga Simbolon sepeti dilansir kebanyakan orang. tapi pesta seluruh masyarakat Samosir. Pesta Bolon dengan ragam acara yang akan diselenggarakan seperti Pesta Adat, Acara Seni Budaya, dan berbagai even olahraga nasional telah mendapatkan rekomendasi tertulis dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Gubernur Sumut, DPRD kabupaten Samosir, dan dari Bupati Samosir. Pesta Bolon ini memang betul-betul akbar sehingga panitia Pesta Bolon telah menjalin kerja sama dengan PT International Events Asia, salah satu Event Organizer terkemuka dan berpengalaman di Jakarta. Sehingga pesta ini diharapkan mampu menarik jumlah wisatawan yang besar baik lokal maupun mancanegara Dan

Pesta Bolon adalah (Big Party). Bolon artinya besar, bukan ”Simbolonon Party” seperti dijelaskan oleh seorang teman ketika ditanya oleh seorang turis mancanegara. Pesta Bolon mengambil thema ”Visit Samosir 2007” diselenggarakan sebagai pesta syukuran oleh para perantau yang rindu dan peduli akan kampung halaman atas berkat melimpah dari Tuhan yang telah diterima selama dalam perantauan.

Hari pertama Pesta diawali dengan kebaktian Raya Oikumene yang akan diikuti oleh komunitas agama yang ada di Samosir dan Kabupaten sekitarnya dilanjutkan Festifal Koor yang akan diikuti oleh seluruh peserta juara dari wilayah-wilayah. Kemudian hari kedua dan ketiga akan diisi dengan pesta adat Batak mulai dari Sulang Bao, Galang paniaran, Mangkarihiri Horbo, Mangalahat Horbo, Gondang Dongan Tubu, Gondang Hula-hula, Gondang Boru, Gondang Undangan, dan Gondang parhobas. Acara adat yang diikuti seluruh peserta dari seluruh Indonesia ini dikemas cukup cermat dan teliti oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat sehingga terasa khidmat dan sedikit bernuansa magis. Wisatawan dipastikan akan banyak datang untuk menyaksikannya.

Hari keempat akan diisi dengan festival Seni Budaya meliputi festival tata Boga, Tumba, Tortor, Lagu Batak, Musik Tradisional Batak, pameran, dan festival musik Pop Batak. Sedang hari kelima hingga hai ketujuh akan diisi dan dimeiahkan dengan kegiatan olah raga meliputi pertandingan Solu Bolon, Solu Parsadaan, Tour de Samosir, Sepeda Gunung, Marsiranggut, Monsak, Marukkor, Tarik Tambang, Catur, Samosir International 10K, Volley Pantai, Tinju Internasional, Samosir Fly-in Aerosport, dan Samosir International Open Water Championship. Selama seminggu pula, setiap malamnya akan diisi dengan ragam hiburan mulai dari Pop Batak, Musik dangdut, Jass, dan R&B.

Keseluruhan acara akan ditutup dengan upacara penyerahan hadiah kepada juara tiap lomba/festival dan pesta kembang api.

Yang paling menonjol adalah even kejuaraan nasional Renang seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh PRSI-Persatuan Renang Seluruh Indonesia yang dinamai Samosir International Open Water Championship. Kejuaraan nasional yang ingin memecahkan rekor jarak 1.000 meter ini terlaksana berkat keja sama yang baik antara panitia Pesta Bolon dengan PRSI yang diketuai oleh Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM). Sebelumnya PRSI masih memecahkan rekor 7.500 meter. Demikian juga dengan pertandingan Catur yang direncanakan masuk MURI (Museum Republik Indonesia) akan mempertandingkan 700 orang peserta (tujuh ratus papan catur) berhadapan dengan 20 orang Pecatur Master. Even olah otak ini tentu menarik bagi wisatawan karena membuat para penontonnya ikut-ikutan olah otak.

Yang paling seru adalah lari 10 km (Ten-K) yang dinamai Samosir International Ten-K yang diperkirakan akan diikuti sekitar 10.000 (sepuluh ribu) orang mulai dari pelajar SMP, siswa SMU, pemuda, orangtua dan termasuk turis lokal dan mancanegara dengan rute start dari Kampung Simbolon dan finish di Pangururan ibu kota Kabupaten Samosir. Even olah raga ini tentu mengundang minat keterlibatan banyak wisatawan. 

Yang paling monumental adalah upacara adat Batak yang diselenggarakan dengan khidmat seperti upacara-upacara adat yang ada di Bali. Turis lokal dan mancanegara akan melihat keunikan adat batak yang sebenarnya dan diwariskan secara berkesinambungan sebagai aset budaya yang perlu dilestarikan dan menjadi komoditi pariwisata yang bisa ”dijual” di masa mendatang.

Perspektif Pembangunan Samosir

Dengan visi Kabupaten Samosir menjadi Kabupaten Pariwisata pada tahun 2010, maka strategi pembangunan Samosir harus memberikan prioritas utama pada sektor pariwisata termasuk di dalamnya strategi mendatangkan wisatawan lokal dan mancanegara sebanyak-banyaknya berkunjung ke Samosir. Pembangunan infrastruktur dan kelembagaan lainnya tidaklah cukup. Pembangunan nonfisik seperti masalah budaya dan etos kerja juga harus seiring, mengingat masyarakat Samosir dikenal belum merupakan masyarakat yang tourism minded atau tourism oriented. Adanya rencana pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) dalam waktu dekat di Kabupaten Samosir perlu benar-benar diarahkan untuk bisa mencetak tenaga profesional bagi kepariwisataan Samosir.

Pembangunan BLK ini dan beberapa pembangunan lainnya seperti perbaikan Tano Ponggol, dan ruas jalan di Samosir adalah atas kepedulian seorang tokoh politik Drs Effendi MS Simbolon sehingga Menteri PU dan Menakertrans berkenan memperhatikan kemajuan pembangunan Kabupaten Samosir, sebagaimana diucapkan oleh Bupati Samosir Ir. Mangindar Simbolon dalam sambutannya pada acara Konsolidasi organisasi Punguan Simbolon dohot Boruna Se-Indonesia dan Sosialisasi Pesta Bolon-Visit Samosir 2007 di halaman Kamtor Bupati Samosir bulan April 2007 lalu.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia Ir. Jero Wacik, SE dalam pesannya kepada Panitia Pesta Bolon mengatakan di mana ada pariwisata, di situ kesejahteraan masyarakat akan ada. Keramahan, sopan santun, dan hospitality adalah modal utama pariwisata, Saya mengimbau orang Samosir untuk membangun Pulau Samosir, dan orang Samosir harus ada di depan untuk ini. Tidak semua primordialisme itu negatif, karena orang yang paling ingin Samosir itu maju adalah orang Samosir itu sendiri. Saya senang senang dengan rencana Panitia Pesta Bolon di Samosir. Indonesia terdiri atas banyak tempat, tentu jika Samosir terangkat, Indonesia akan terangkat juga. Coba anda lihat, kalau ada turis datang, mereka bayarhotel, restoran, beli souvenir, dan sebagainya. Itu uangnya langsung diterima masyarakat, tidak mampir lagi.

Secara statistik, orang Indonesia rata-rata baru mengenal 2,8 persen dari 33 provinsi di Indonesia artinya orang Indonesia belum sepenuhnya mengenal negerinya. Kepada Ketua Penyelenggaran Pesta Bolon Ir. Raden Simbolon, Menbudpar mengatakan bahwa penyelenggaraan Pesta Bolon sejalan dengan program pariwisata Menbudgar yaitu ”Kenali Negerimu, Cintai Negerimu”.

Penyelenggaraan Pesta Bolon harus dijadikan sebagai momentum penting dan berharga dalam konteks pembangunan Samosir ke depan bagi Pemda Samosir dalam rangka , memperkenalkan potensi pesona wisata Samosir.

Pesta Bolon-Visit Samosir 2007 sudang diambang pintu, tapi dampak lanjutannya sudah mulai terasa. Respons positif dari beberapa marga dan suku Batak yang ada di Jakarta sudah muncul untuk menyelenggarakan pesta yang sama. Tinggal sekarang Pemerintah Kabupaten Samosir yang harus proaktif ”jemput bola” tanpa harus menunggu. Kumandangkan kata ”siap menjadi tuan rumah yang baik dan welcome” bagi setiap perantau yang mau bikin pesta akbar di kampung halaman. Bangkitkan kembali slogan ”Jangan mati dulu sebelum melihat keindahan Pulau Samosir” . Sebab, memang, Samosir is a gem set in a place of beauty.

Dengan demikian perspektif pembangunan Samosir menjadi Kabupaten Pariwisata pada 2010 akan bisa jadi kenyataan.

Penulis adalah Magister Komunikasi dan seorang Perwira Menengah di Ditjen Renhan Dephan.
Note:
Dikirim ke suarabatakpos@yahoo.co.id hari Jumat tanggal 15 Juni 2007.
Dikirim ke pelita_rakyat@yahoo.com hari Jumat tanggal 15 Juni 2007.