Minggu, 31 Juli 2011

Simbolon di Tengah Pelestarian Budaya

Oleh : Drs. Anthon Simbolon, Msi

Tortor atau tarian, bagian dari kebudayaan dan kebudayaaan adalah jati diri suatu bangsa. Suatu bangsa diperbedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Tatkala simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia dipakai sebagai salah satu elemen iklan pariwisata Malaysia, reaksi keras masyarakat Indonesia bermunculan yang didasari oleh rasa cinta sekaligus kekhawatiran masyarakat akan hilangnya kebudayaan tradisional mereka.

Litbang Harian Kompas pernah melakukan jajak pendapat terhadap 866 responden, menghasilkan mayoritas responden (97,6 persen) menyatakan amat bangga dengan kebudayaan lokal yang mereka miliki. Bahkan, rasa bangga yang mereka ekspresikan ini sejalan pula dengan opini mereka (99,3 persen) menyatakan perlunya melestarikan produk budaya Indonesia. Artinya, dari sisi penyikapan masyarakat, tidak ada yang patut dikhawatirkan dengan ancaman akan tergerusnya produk budaya negeri ini akibat pola penyikapan warganya.

Sikap keras dan rasa bangga yang mereka ekspresikan itu tidak serta-merta menunjukkan interaksi masyarakat yang intens dengan produk-produk budaya lokal mereka sendiri. Dengan kata lain, di tataran praksis, masyarakat sendiri sebenarnya tidak banyak mengenali dan mempraktikkan kebudayaan lokal mereka sendiri.

Dari 866 responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen), musik dan lagu (68,8 persen), pakaian (67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.

Pengetahuan minim tentang kebudayaan lokal, dibarengi dengan pengakuan mereka secara umum dalam mempraktikkan kebudayaan lokal mereka. Misalnya, perilaku memakai pakaian tradisional dinyatakan oleh 67,9 persen responden. Pengalaman menceritakan dongeng dari daerah di Indonesia diakui oleh 65,4 persen responden jarang dilakukan masyarakat. Sejauh ini, hanya dua produk budaya tradisional yang terdaftar di badan PBB, UNESCO, wayang kulit (2003) dan keris (2005).

Kesenian Reog Ponorogo yang sempat ramai dibicarakan masyarakat berkaitan klaim Malaysia pada tahun 2007 hanya sebatas didaftarkan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2004. Masyarakat begitu tersentak oleh berita bahwa batik dan kreasi ataupun salah satu formula teknologi pembuatannya terpatenkan oleh negeri jiran.

Tidak mengherankan jika kenyataan ini membuat hampir semua responden (95 persen) berpendapat, pemerintah perlu segera secara serius melindungi eksistensi produk budaya lokal ini dengan mematenkan produk-produk budaya lokal di lembaga internasional.

Agenda tetap dan berkelanjutan


Alangkah indahnya jika setiap daerah memiliki agenda tetap dan berkelanjutan untuk keriaan besar kebudayaan itu dalam media massa. Durasinya, masing-masing bisa selama seminggu atau sebulan. Selain bisa terus-menerus berdenyut memberi penyadaran kepada masyarakat akan kuantitas dan kualitas kekayaan budayanya, juga bisa dijadikan sebagai komoditas wisata domestik dan mancanegara.

Kegiatan itu tidak hanya menjadi acara yang menghabiskan anggaran, melainkan menjadi adrenalin bagi kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan bisa dinikmati oleh banyak sektor usaha masyarakat. Dengan demikian, seluruh untaian mutiara di Khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke, akan tampak berkelap-kelip memancarkan gairah pesona masing-masing sepanjang masa.

Di Ibu Kota, hal serupa wajib diselenggarakan. Area Taman Mini Indonesia Indah bisa diubah menjadi Taman Besar Indonesia Indah. Setiap daerah/anjungan bisa secara bergilir mengadakan perhelatan selama sebulan -misalnya Festival Budaya Batak dan lain-lain- dengan memanfaatkan seluruh kawasan.

Jika dipromosikan secara luas, didukung segenap lapisan masyarakat, termasuk para sponsor dan pebisnis, acara semacam itu niscaya memiliki gaung ke segala arah, menumbuhkan kebanggaan dan memperkuat jati diri suku bangsa.

Tak cukup hanya dengan cogito ergo sum. Hanya dengan bekerja, maka kita ada. Untuk itu, mungkin perlu dibentuk lembaga swadaya masyarakat semacam "Lembaga Pewaris Budaya Bangsa" atau "Lembaga Pewaris Budaya Batak" (Khusus untuk orang Batak), yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang peduli dan mau bekerja untuk memajukan kebudayaan.

Politik Kebudayaan Kita


Munculnya aneka protes sebagai bentuk ketersinggungan atas klaim produk-produk kebudayaan kita oleh Malaysia seharusnya segera memicu perlunya dipikirkan kembali hal-hal mendasar atas politik kebudayaan kita. Hendak diarahkan ke mana kebudayaan bangsa ini?

Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Menjadi khas saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas itulah yang otentik.

Meski pernah didefinisikan, kebudayaan nasional puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produk-produk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.

Reorientasi pola pikir


Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka dan lainnya, mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang plural ini.

Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soal-soal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.

Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) tertanam di benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan falsafah Pancasila tidak sulit.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, sekarang ini saatnya membangun karakter bangsa melalui nilai-nilai budaya. Karya-karya budaya bangsa itu harus diusahakan agar masuk dalam akar kehidupan kita.

Setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan wayang, keris, dan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia, menjadi tugas kita agar nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya bisa menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Tugas kita sekarang tidak hanya melestarikannya, tetapi bagaimana mengusahakan agar nilai-nilai budaya itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tugas kita bagaimana agar karya-karya budaya bangsa itu masuk ke akar kehidupan masyarakat. Itu tidak mudah, tetapi tugas itu niscaya amat penting dan mulia.

Pengakuan MURI (Museum Rekor Indonesia) terhadap tortor Batak yang diselenggarakan Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) yang diikuti oleh sekitar 7.000 (tujuh ribu) orang penari di Istora Senayan 25 Juli 2010 lalu menunjukkan kecintaan Masyarakat Batak terhadap budayanya tanpa harus mendaftarkan diri ke UNESCO. Dilanjutkan lagi dengan Manortor Tandok Boras di Lapangan Benteng Medan oleh lebih seribu orang wanita Batak pada tanggal 10 Juli 2011 lalu. Tortor atau tari ini digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang tahun Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) dan memperoleh penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia).

Tari kolosal ini tidak sekedar show of force, tetapi merupakan misi PSBI dalam rangka melestarikan nilai-nilai luhur budaya Bangsa di kalangan orang Batak sekaligus menunjukkan masih tingginya kecintaan masyarakat Batak akan budayanya. Effendi MS Simbolon mengatakan, kecintaan dan rasa memiliki terhadap budaya lokal harus diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bukan hanya mengaku tanpa aksi nyata.

Menurut hemat saya, pemerintah perlu memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pelaku-pelaku pelestarian budaya seperti Effendi MS Simbolon sebagai tokoh muda yang peduli dengan pelestarian budaya lokal.

Dengan upaya pelestarian budaya yang dilakukan Marga Simbolon, diharapkan ada marga lain seperti marga Siahaan, Panjaitan, Simanjuntak mau mengikutinya. Kekayaan budaya kita menjadi asset bisa dijual untuk memajukan kepariwisataan dan menghasilkan secara ekonomis sekaligus sebagai alat peningkatan kesejahteraan bersama. Masyarakat Batak tercatat sangat antusias dengan budayanya, tapi bagaimana para tokoh budaya Batak menanamkan nilai-nilai luhur itu bersemayam di lubuh hati setiap orang Batak.

Kepedulian Pemerintah


Mencermati sejumlah kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2009, seperti kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur dan kasus munculnya tari pendet dari Bali dalam iklan pariwisata Malaysia yang menimbulkan berbagai reaksi di Tanah Air, seperti menegaskan betapa keperdulian pemerintah terhadap budaya masih minim.

Terlepas dari persoalan mematenkan budaya lokal, keperdulian pemerintah baru sebatas mengejar sertifikat sebagai warisan budaya dunia, seperti untuk wayang, keris dan batik. Menjadi pertanyaan, setelah sertifikat itu didapatkan, mau dibawa ke mana kekayaan khazanah budaya bangsa ini? Bagaimana dengan budaya/seni tradisi di banyak daerah yang kini keberadaannya mencemaskan dan terancam punah? Terlalu panjang diurai mengapa kondisi seperti itu terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap kesenian tradisi/budaya lokal masih setengah hati. Terbukti dengan relatif kecilnya anggaran untuk pembinaan seni tradisi tersebut.

Belajar dari asing


Selama ini, pihak asing begitu perduli dengan khazanah budaya Indonesia. Jangan heran, di beberapa kesenian tradisi, orang kita belajar pada pihak asing.

Salah satu hasil kebudayaan kita sudah lama menjadi perhatian orang asing adalah naskah. Naskah-naskah dari Kepulauan Nusantara kini tersimpan di beberapa perpustakaan di sejumlah negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Jerman, Denmark, Australia dan Rusia. Naskah-naskah Nusantara itu dijaga dengan baik di luar negeri. Mereka sadar sekali, the knowledge is power.

Sekarang terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu lagi, naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Minat bangsa asing terhadap naskah-naskah Indonesia tetap tinggi. Di Indonesia sendiri terjadi hal sebaliknya, jangankan menambah koleksi naskah (atau mereproduksinya dari masyarakat), naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan saja sering hilang.

Penulis: Sekjen Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia (PSBI) tinggal di Cikeas-Bogor
Artikel ini juga dimuat di www.analisadaily.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar