Minggu, 30 Desember 2012

Keluarga Besar Simbolon Perlu Memahami Perbedaan Antarbudaya dan Komunikasi Antarbudaya

Oleh Drs. Anthon Simbolon, M.Si

Alkisah, dalam Condon dan Yousef, 1985:89, Presiden Amerika Serikat John Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez Meteos bertemu di Meksiko tahun 1962. Ketika mengendarai mobil, Kennedy memperhatikan jam tangan Presiden Meksiko. Kennedy pun memuji Lopez: “Betapa indahnya jam tangan Anda” Lopez segera memberikan arlojinya kepada Presiden Amerika Serikat seraya berkata, “Jam tangan ini milik Anda” sekarang. “Kennedy merasa malu karena pemberian itu. Ia berusaha menolaknya, namun Presiden Meksiko menjelaskan bahwa di negerinya ketika seseorang menyukai sesuatu, sesuatu itu harus diberikan kepadanya-kepemilikan adalah masalah perasaan dan kebutuhan manusia. Bukan milik pribadi.” Kennedy terkesan oleh penjelasan itu dan menerima arloji itu dengan rendah hati. Tak lama kemudian, Presiden Lopez berpaling kepada Presiden Amerika dan berkata: “Aduh, betapa cantiknya istri Anda,” yang dijawab oleh Kennedy: “Silakan ambil kembali jam tangan Anda”

Cerita-cerita di atas adalah salah satu contoh komunikasi antarbudaya. Bila komunikasi terjadi antara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial atau bahkan jenis kelamin, komunikasi demikian disebut komunikasi antarbudaya. Disiplin ini sepintas mengisyaratkan bidang yang harus dikuasai para diplomat, mahasiswa asing di suatu Negara, wisatawan mancanegara, pengusaha internasional, manajer sebuah hotel internasional, pekerja sosial atau antropolog terkemuka. Itu tidak salah. Namun sebenarnya setiap komunikasi kita dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya, karena kita selalu berbeda “budaya” dengan orang tersebut, seberapa kecilpun perbedaan itu. Maka komunikasi antarbudaya seyogianya merupakan kepedulian siapa saja yang ingin berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, sebagaimana dikatakan oleh Edward T. Hall (1959) bahwa “Culture is communication” dan “communication is Culture”

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita: bahasa, aturan, dan norma kita masing-masing. Pada tahun 1929, seorang linguis terkemuka, Edward Sapir, mengingatkan para ilmuwan sosial bahwa bahasa-bahasa yang berlainan mempengaruhi cara berpikir.” …. The Real World is to a large extent unconsciously built up on the language habits of the group…We see and hear and otherwise experience very largely as we do because the language habits of our community predispose certain choices of interpretation” (dalam mandelbaum, 1959:162).

Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan risiko yang fatal dan besar sebagaimana dilukiskan Hall dan Whyte: “Suatu peluang bisnis yang tampaknya menguntungkan bagi seorang pria Amerika gagal hanya karena pria itu meletakkan tangannya tanpa sengaja di atas bahu pria Jawa yang akan menjadi mitra bisnisnya di hadapan hadirin di sebuah pesta koktail, perilaku mana dianggap penghinaan menurut etika Jawa.”

Perbedaan ekspektasi dalam komunikasi sekurang-kurangnya menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman seperti dilukiskan contoh-contoh berikut:

Seorang pria Indonesia merasa malu, benci, jijik, dan ingin marah ketika pipinya dicium oleh seorang pria Arab ketika ia baru tiba di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Bagi orang Arab, perilaku itu setulusnya menandakan persahabatan, namun bagi orang Indonesia mengisyaratkan perilaku homoseksual.

Seorang mahasiswa Korea merasa tersinggung katika ia mengunjungi teman Amerikanya. Mahasiswa Amerika itu berkata di jendela: “Maaf, saya tidak punya waktu karena sedang belajar” lalu ia menutup jendela. “saya tidak mengerti. Dala budaya saya, pribumi seharusnya menyambut tamu, suka atau tidak suka, sibuk atau tidak sibuk. Juga pribumi tidak pernah berbicara tanpa membuka pintu” (dalam Barna, 1982:328)

Kami sedang berbicara dengan beberapa mahasiswa Jepang di Tokyo tentang mantan Dubes AS di Jepang yang pengetahuan bahasa dan budaya Jepangnya dipuji banyak orang. Seorang wanita berkomentar, “Ya, ia hebat, namun…. Saya kira istrinya bukan seorang istri yang baik, bila Anda tahu apa yang saya maksudkan. “Kami tadinya mengira itu gossip. Ternyata bukan. Alasan yang dikemukakan wanita itu bahwa ia telah melihat ketombe di bahu dubes ketika ia diwawancarai di TV. Bagi kami penjelasan itu tidak masuk akal. Dengan sabar wanita itu menjelaskan bahwa di Jepang seorang istri bertanggung jawab atas penampilan pribadi suaminya (dalam Condon dan Yousef 1985:1)

Dewasa ini kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti itu masih sering terjadi ketika kita bergaul dengan kelompok-kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkannya lagi (taken-for-granted), dan karenanya kita menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya lain. Bila seseorang tidak menyetujui nilai-nilai kita, sebenarnya itu tidak berarti bahwa orang itu salah, bodoh atau sinting; alih-alih secara cultural orang itu sedikit berbeda dari kita. Bila anda langsung meloncat kepada kesimpulan tentang orang lain berdasarkan informasi terbatas yang anda miliki tentang kelompoknya, maka anda terperangkap dalam etnosentrisme. Komunikasi anda akan lebih berhasil bila anda menggunakan informasi tentang orang itu sebagai individu alih-alih berdasarkan informasi budaya (Hopper dan Whitehead, 1979:177).

Ketika kita berkomunikasi dengan orang-orang lain, kita diharapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Menurut Summer, Etnosentrisme adalah memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya” (dalam Gudykunst dan Kim, 1985:5).

Pandangan-pandangan entosentrik itu antara lain berbentuk streotip, yaitu suatu generalisasi atas sekelompok orang, objek atau peristiwa yang secara luas dianut suatu budaya. Ini tidak berarti bahwa semua stereotip salah. Ada setitik kebenaran dalam stereotip dalam arti bahwa sebagaian stereotip cukup akurat sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak kita kenal. Namun bila kita menerapkannya kepada individu tertentu, kebanyakan stereotip tidak tepat dan banyak yang keliru. Situasi-situasi yang memalukan bisa muncul bila kita tergantung pada stereotip ketimbang persepsi langsung (lihat Tubbs and Moss, 1994:51-52).

Masyarakat manapun, cenderung mempunyai stereotip-stereotip tentang masyarakat lainnya. Di Australia misalnya, orang-orang cina sering diasosiasikan dengan pedagang, komunis, gemar perang atau ancaman bagi seluruh dunia.

Orang-orang Yunani distereotipkan sebagai orang-orang yang suka menipu dalam bisnis atau mencuri milik orang di luar kelompok mereka asal tidak sampai menyengsarakan si korban (Litvin, 1977). Banyak penduduk Australia yang menganggap bahwa orang asing sebagai orang tamak, padahal orang-orang yang disebut belakangan justru merasa mereka lebih rajin bekerja ( bahkan bersedia dipekerjakan sebagai apa saja, dan senang kerja lembur, dengan bayaran yang bisa dinegosiasikan).

Mahasiswa Indonesia di New York menganggap orang bule yang memberikan buku dengan tangan kiri kepadanya sebagai tidak beradab, padahal orang Amerika itu tidak bermaksud demikian, karena dalam budayanya menggunakan tangan kiri bukan kekurangajaran. 

Seorang wanita Australia terkesiap ketika dalam perjalanan kereta api dari bandung ke Yogyakarta ia melihat seorang wanita Indonesia asal desa yang menyusui anakanya di depan umum. Ia menganggap perilaku itu primitive, karena di negerinya sendiri hal itu tidak pernah dilakukan wanita Australia.

Seorang pria Indonesia merasa jengkel sambil menggerutu melihat sapi-sapi berkeliaran di New Dalhi-yang dianggap binatang suci oleh penduduk setempat yang mayoritas beragama Hindu-karena menghalangi mobil yang dikendarainya. 

Seorang turis Australia marah-marah karena ia harus membayar uang setelah memasuki WC yang kotor dan bau pesing di sebuah terminal bus di Jakarta. “Sudan bau pesing harus bayar lagi,” gerutunya, yang dijawab temannya yang orang Indonesia: “Kok kamu marah-marah karena perkara sepele sih.”

Kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya di atas dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan mempraktikkannya dalam berkomunikasi dengan orang-orang lain.

Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi antarbudaya semakin terasa karena semakin banyak orang asing yang datang ke Negara kita. Dalam dua dasawarsa terakhir ini banyak turis datang ke Indonesia. Setiap tahun jutaan turis mancanegara datang ke Negara kita. Jalan Jaksa di kawasan Medan Merdeka, Jakarta telah mendunia karena penginapan-penginapan di sepanjang jalan yang hampir setengah kilometer itu selalu dibanjiri turis-turis asing dari berbagai penjuru dunia.

Untuk bangsa Indonesia, pengajaran komunikasi antarbudaya lebih penting lagi mengingat bangsa kita terdiri dari berbagai suku bangsa dan ras. Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar, pertemuan kita dengan mereka tidak terhindarkan. Di Negara kita terdapat banyak subkultur: ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota), latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Banyak orang Indonesia pergi ke daerah-daerah lain di wilayah Indonesia atau bahkan ke luar negeri untuk belajar, bisnis atau bekerja. Demi kelancaran tugas mereka, penting bagi mereka untuk mengetahui asas-asas komunikasi antarbudaya.

Meskipun berbagai kelompok budaya semakin sering berinteraksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau bahwa dengan sendirinya akan tercipta saling pengertaian, karena antara lain, sebagian di antara kita masih punya prasangka terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka. Penemuan Bruner (1974) tentang stereotip antarsuku di Indonesia agaknya tetap relevan. Masih sering terdengar bahwa orang Jawa beranggapan bahwa mereka halus dan sopan dan bahwa orang Batak sendiri menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar, rajin, kuat dan tegar. 

Orang Batak menganggap orang-orang Jawa dan Sunda lebih halus dan sopan, tapi lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang Sunda anggap kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran. Apa yang orang Sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah kemunafikan dan kelemahan.

Bila ada orang kita yang enggan bergaul akrab dengan suku lain, meskipun satu bangsa, kemungkinan besar ia lebih enggan lagi bergaul dengan orang dari bangsa-bangsa lain. Kesamaan bahasa saja belum menjamin bahwa orang yang bersangkutan mampu bergaul secara luwes dengan orang-orang asing yang berbahasa tersebut, meskipun kesamaan bahasa merupakan bekal penting untuk menciptakan hubungan yang memuaskan.

Menarik sinyalemen Dr. Ide anak Agung Gde Agung mantan Dubes Indonesia di Austria, bahwa kelemahan utama para diplomat Indonesia pada umumnya terletak dalam dua hal: Kekurangmampuan berbahasa asing dan kurang pandai bergaul dengan orang asing. “Sebagai dampak negatifnya, mereka lantas lebih senang berkumpul dengan sesama warga Indonesia…” katanya (Kompas, 24 Agustus 1995).

Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi antarbudaya, Litvin (1977), menjelaskan sebagai berikut:
• Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
• Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilai berbeda.
• Nilai-nilai setiap masyarakat se “baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
• Setiap individu dan atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
• Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola budaya mendasar yang berlaku.
• Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
• Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
• Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antarpribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
• Pengalaman-pengalaman antarbudaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
• Ketrampilan-ketrampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multicultural.
• Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbiter tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
• Situasi-situasi komunikasi antarbudaya tidaklah static dan bukan pula stereotip. Karena itu, seorang Komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Ia harus disiapkan untuk menghadapi suatu situasi eksistensial. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.

Mengenai tujuan studi komunikasi antarbudaya, Litvin menguraikan bahwa tujuan tersebut bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
 • Menyadari bias budaya sendiri
• Lebih peka secara budaya
• Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut.
• Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
• Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
• Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasi sendiri.
• Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
• Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
• Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya.
• Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

Alasan pertama untuk mempelajari komunikasi antarbudaya, yaitu bahwa dunia sedang menyusut, semakin terasakan dewasa ini. Proses itu sering disebut globalisasi. Karena proses ini terus berjalan, M. Habib Chirzin (1995) mengusulkan diselenggarakannya pendidikan global di Indonesia. Dunia pendidikan ditantang untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan mampu menghadapi percepatan proses globalisasi yang ditimbulkan liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global.

“Ketika APEC mulai diberlakukan (tahun 2010), Indonesia akan dibanjiri tenaga asing,” demikian Chirzin. Maka, para pendidik diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai yang berorientasikan perdamaian dan mengembangkan kemampuan kerja sama antarbangsa dan antarbudaya.

Untuk menyongsong pasar bebas di kawasan Asia Pasifik (APEC) tahun 2010, Lee Milstein, seorang konsultan manajemen lintas budaya di Jakarta, menyarankan agar pelaku bisnis tidak sekedar mempelajari do’s dan don’ts dalam situasi kerja lintas budaya, tapi juga mengembangkan pemahaman total terhadap budaya professional lokal dan ekspatriat, yang meliputi nilai-nilai, keyakinan, asumsi, serta dorongan-dorongan internal lain yang mempengaruhi perilaku manusia.

Lebih jauh Milstein mengatakan: Untuk bisa memahaminya, langkah pertama yang harus dilakukan seorang professional adalah memahami budayanya sendiri (nilai, keyakinan, asumsi, dan dorongan internal). Berikutnya, barulah mencoba memahami budaya ekspatriat. Bermodal itu, kedua professional lantas mengidentifikasi perbedaan dan persamaan budaya masing-masing, dan akhirnya mengidentifikasi unsure-unsur yang bisa mensukseskan bisnis. Langkah puncaknya, para professional itu secara bersama-sama membentuk strategi lintas budaya yang terpadu guna mencapai tujuan bisnis, (Republika, 29 November 1995).

Usulan Chirzin sejalan dengan komitmen UNESCO yang memang telah lama mempromosikan pendidikan global. Dalam sidangnya di Jenewa pada bulan Oktober 1994 UNESCO menandaskan kembali komitmennya dengan menyarankan antara lain:
• Pendidikan seyogianya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
• Pendidikan seyogianya menumbuhkan perasaan solidaritas dan kesamaan pada tatanan nasional dan internasional, dalam perspektif pembangunan yang seimbang dan lestari.

Sejalan dengan komitmen UNESCO, dalam KTT Sembilan Negara berkembang berpenduduk terpadat di dunia tentang “Pendidikan Untuk Semua”, di New Dalhi India, Desember 1993, telah dilahirkan komitmen bersama terhadap pengembangan SDM dengan menghormati keanekaragaman budaya.

Pengajaran komunikasi antarbudaya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan nonformal di Indonesia dapat kita jadikan salah satu sarana untuk menciptakan SDM Indonesia yang kita cita-citakan. Layak bila kita dapat menyebarkan pengetahuan lewat media cetak untuk memperlancar pendidikan tersebut, antara lain dengan menerbitkan buku-buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar